you're reading...
Life

Rindu lebaranku datang lagi..

Sembari menunggu simulasi rangkaian yang tidak kunjung selesai dari dini hari tadi, jemariku gatel untuk nulis disini lagi. Pikiranku masih belum beranjak dari hingar bingar mudik di negeriku tercinta.  MUDIK, meski masa kecilku tidak mengenal kata ini karena keluarga ibu-bapak dekat, tapi kata ini teramat lekat di tahun-tahunku belakangan saat kuputuskan untuk menetap jauh dari kota kelahiranku.  Dimulai dari kepergianku untuk kuliah, sepuluh tahun yang lalu.

IMG_0988

suasana pagi di kampung halamanku

Momen lebaran di rumah, tidak akan pernah bisa digantikan dengan apapun.   Makanya kadang aku heran dengan orang-orang yang justru menghabiskan masa libur lebarannya dengan bepergian ke luar negeri alih-alih tinggal di kampung halaman.  Bahkan sejak kecil pun, aku tidak pernah berwisata ke pantai ketika hari-hari libur lebaran seperti kebanyakan orang di kampung kami.  Bagiku lebaran adalah liburan dengan keluarga di rumah, menikmati hangat dan damainya desaku.

Hari pertama lebaran, setelah bersalam-salaman dengan keluarga di rumah, kami sekeluarga menikmati opor ayam ibu yang legendaris.  LEGENDARIS, ya tentu, karena kami tidak pernah menikmati opor dengan rasa yang sama di luar lebaran, meski ibu yang masak.  Boleh dikata, bumbu-bumbu yang beliau racik saat malam takbiran adalah bumbu rahasia yang hanya dikeluarkan saat itu, tidak di hari lain.  Maka tidak salah, meski aku ditawari makan di puluhan rumah saat bersilaturahmi, aku tidak akan bergeming, karena aku tahu ada makan siang dan makan malam istimewa yang menungguku di rumah.  Oh ya, ngomong-ngomong tentang bersalaman, kami tidak pernah sungkeman seperti tradisi yang lazim dilakukan di jawa.  Biasanya kami cium tangan, lalu bapak-ibu akan mencium pipi dan dahi kami bergantian.  Hanya itu.. Dulu, momen ini biasa saja, karena tiap pagi menjelang ke sekolah kami selalu melakukan hal yang sama.  Tapi, setelah adik keduaku meninggal, momen ini begitu mengharu-biru terutama untuk ibu yang selalu mencium kami lebih lama dari biasanya sembari menitikkan air mata..

P1070020a

kaka 1y, momen lebaran 2013, di rumah mbah canggah

Aku selalu ingat, satu atau dua hari sebelum ied, suasana lebaran mulai terasa di penjuru desa.  Di pelataran depan, bapak-bapak mulai merangkai ketupat dari janur, daun kelapa muda.  Anak-anak mulai sibuk menyiapkan potongan bambu untuk obor, oncor kami menyebutnya, untuk pawai takbiran.  Ibu-ibu pun tidak kalah sibuk, kayu bakar mulai di jemur dan tungku-tungku dikeluarkan.  Kue-kue lebaranpun tidak luput dari perhatian, masih banyak yang masih mempertahankan tradisi dengan membuat kue khas keluarga.  Di rumah, ada dua kue yang selalu dibuat ibu ketika menjelang hari raya :  pastel dan kacang bawang.  Selain dua kue itu, beliau selalu pesan dari pengrajin kue langganan di desa sebelah.  Kacang bawangnya pun kadang-kadang tidak tanggung-tanggung, sampai 10 kilo.  Ibu sendiri yang buat, tentu tidak.. Anak-anak nya yang ditugasi mengupas kacang sambil nonton TV, biasanya dua hari menjelang ied.  Pastelpun demikian.. Seru..

Dan puncak nya satu hari menjelang ied, kami biasanya tinggal di dapur seharian membantu.  Ada yang ditugasi untuk menumbuk kacang dengan alu, ada juga yang marut kelapa atau ngulek bumbu. Biasanya Bapak yang paling jago marut kelapa, tidak pernah tangan beliau tergores, beda dengan kami yang selalu meninggalkan bekas luka-luka di jemari.  Ini adalah salah satu momen yang paling kutunggu selama setahun, karena ada banyak tawa dan canda di dapur saat itu.  Kalau keluarga lain mungkin kehangatan rumah terletak di meja makan, bagi kami di dapurlah sumber kehangatan itu.  Sampai-sampai, pertama kali aku minta ijin nikah ya didapur itu ketika bantu ngulek sambal.. heehe… Menjelang sore, ritual lain menunggu kami: menyembelih ayam.. Bukan sembarang ayam yang disembelih.  Ayam itu selalu ayam yang tumbuh besar di rumah kami, dari telur-menetas hingga kemanggang (begitu kami menyebut ayam yang cukup umur untuk dipotong), jadi bukan ayam yang beli di pasar.  Sejak dulu bapak memang hobi pelihara ayam dan khusus untuk lebaran, beliau selalu pilihkan ayam terbaik.   Mungkin ini juga yang membuat opor ayam ibu melegenda..

Malam takbiran pun tak kalah merindukan..  Suara takbir terdengar dari seluruh penjuru desa, tak lupa tabuh-tabuhan bedug dan kenthongan bertalu-talu.  Anak-anak kecil mulai sibuk berpawai, sebagian membawa kembang api dan mercon (baca : petasan).  Masjid-masjid dan langgar-langgar ramai dengan bapak-bapak yang berzakat, disana juga disiapkan makan malam dan kue-kue lebaran.  Remaja-remaja pun tak ketinggalan, mereka menyiapkan halaman masjid untuk shalat ied esok hari.  Aku biasanya bersama adikku ditugasi ibu untuk membagi zakat fitrah ke atas gunung.  Biasanya ibu menyisihkan beberapa kantong zakat untuk didistribusikan sendiri.  Dulu sebelum bapak punya motor, kami selalu jalan kaki ke atas membawa obor dan senter menyisir beberapa rumah nenek-nenek tua yang mungkin luput dari perhatian panitia zakat.  Pulangnya kami biasanya mampir ke langgar tempat mengaji, berkumpul sebentar dengan teman-teman sambil menikmati kue lebaran guru ngaji, heehe..

lebaran kitakyushu

dua tahun ini berlebaran jauh dari rumah

(foto oleh Fritz Ahmad Nuzir)

Esoknya, kami habiskan waktu dengan mengunjungi tetangga hampir satu kampung.  Dulu, di awal-awal pindah di pesuningan, bapak-ibu juga ikut serta “muter” ke tetangga-tetangga.  Puluhan rumah kami datangi, dari mulai pagi satu jam setelah shalat ied, sampai sore menjelang maghrib.  Aku bahkan sampai hafal, hidangan lebaran yang khas di tiap rumah sampai sekarang.  Ada cerita unik di lebaran beberapa tahun lalu. Sudah jamak di desaku, ketika ada remaja yang merantau ke jakarta untuk bekerja, maka saat kembali dia lupa bahasa daerah.  Di rumah, lebih-lebih saat silaturahmi di tetangga pas lebaran, lidah mereka tiba-tiba kelu untuk berbahasa jawa.  Yang dulu dengan fasihnya mereka bilang, “nyong-kowe” sekarang berubah menjadi, “aku-kamu” bahkan banyak juga yang pakai “loe-gue” sambil mulutnya agak dimajuin biar fasih kayak anak jakarta, haaaha… Nah, ketika aku silaturahmi lebaran ke tetangga setelah setahun kuliah di jakarta, hampir semua tetangga ku menyapa dengan bahasa indonesia.   “Wah, taufik pulang ya.. mari-mari masuk, cerita-cerita di dalam..”  Hooho.. Seakan mereka menyangka, akupun sama dengan yang lain, lupa bahasa jawa..  Juga di kepulanganku terakhir dari jepang, kebetulan bukan pas lebaran, tetangga-tetangga juga heran, “kowe wis tekan ngendi-ngendi, tapi isih bisa bahasa jawa, alus sisa.. ora kelalen.. kae kanca-kancamu nembe wae kerja nang jakarta rong wulan, bali-bali wis ora gelem basa karo bapakane..”.

Sungguh, momen-momen ini tidak pernah akan bisa digantikan dengan apapun.  Tidak akan bisa digantikan dengan jalan-jalan ke Singapur.. bahkan ke Amerika sekalipun.. Maka sungguh beruntunglah, engkau yang tahun ini masih bisa berlebaran di rumah, juga bertakbir di masjid-masjid..  Karena kami yang disini, yang jauh dari keluarga sangat rindu dengan rumah kami.. rindu menghabiskan momen indah penuh bahagia bersama keluarga kami di kampung halaman.

lebaran 2Id Fithri 1436 H bersama keluarga pelajar di kitakyushu

(foto oleh Fritz Ahmad Nuzir)

Taqobbalallaahu minna wa minkum, Selamat hari raya Id Fithri Mubaarak 1436 H,

Kutitipkan salam dan rinduku dengan doa dari seberang,

Kitakyushu, 1 syawal 1436 H.

About Taufiq Alif Kurniawan

I'm young, healthy, happy

Discussion

One thought on “Rindu lebaranku datang lagi..

  1. terharu bacanya. 🙂
    jadi inget lebaran kemaren adalah yang ketiga-ku di jakarta. Lebaran di kampung kebagian hari kedua atau tiga biasanya.

    Posted by Tia putri | September 2, 2015, 11:04 am

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: