you're reading...
Life

22 Januari, dua tahun berlalu..

pemakaman-haji-di-arab-saudi-_140909131716-199

Air mata itupun kembali basah, tangisnya tak lagi terbendung, tatkala kucium kakinya sore itu.. Seumur hidupku, aku tak pernah melihatnya seperti ini. Mungkin terlihat rapuh bagi mereka yang sore itu datang ke rumah kami, tapi tidak untukku juga untuk adek-adekku. Karena kami sangat tahu, bagaimana cara beliau menyikapi kerasnya ujian kehidupan selama berpuluh-puluh tahun…

Beliau, sejak kecil tidak pernah merasakan hangatnya dekapan orang tua kandungnya. Ibunya meninggal ketika usianya belum genap 2 bulan, kemudian ayahnya pergi merantau ke kota dan menitipkan dia ke salah satu kerabat yang tinggal di pelosok. Didikan keras yang beliau terima dari orang tua asuhnya, membuatnya dewasa sebelum waktunya. Kakung, Bapak asuhnya, hanya seorang pensiunan tukang pos sedangkan mbah putri, ibu asuhnya, ibu rumah tangga biasa. Dia tinggal bersama tiga anak lain yang bernasib sama dengannya, ‘dibuang’ orang tua kandungnya dengan berbagai alasan. “Jangan pernah bayangkan kakung dan mbah putrimu dulu semulih (sebaik-red) sekarang, fiq…”, begitu katanya setiap memulai cerita tentang kehidupan masa kecilnya. “Setiap hari kami harus bangun sebelum jam 4 pagi, lalu sibuk dengan tugas rumah masing-masing. Ada yang masak, mencuci dan setrika baju, bersih-bersih rumah, ada juga yang tugasnya ngambil utangan beras ke salah satu tetangga. Ini tugas yang paling nggak enak, fiq.. Selain harus nunggu lama di depan rumah tetangga, setiap hari kami tidak selalu dapat utangannya. Siang sepulang sekolah, kami ikut derep (memanen-red) sawahnya tetangga, nanti pulangnya dapat upah seunting (seiket-red) padi.”

Tidak ada pelajaran agama yang didapat di keluarga itu, sehingga beliau selalu mencuri-curi kesempatan untuk belajar mengaji di tempat tetangga yang cukup jauh dari rumah. “Jalanan waktu itu gelap, maka selalu bawa obor dari daun kelapa kering. Nah, kalau pas pulang kakung tahu, pasti langsung dimarahi habis-habisan. Ngaji bikin bodoh, belajar aja jangan ngaji, katanya.”

Pun ketika aku dan adekku, satu persatu mesti meninggalkannya selepas SMA untuk kuliah di kota yang jaraknya satu malam perjalanan, beliau selalu tersenyum di sela-sela keberangkatan kami. Meski kadang hanya satu kali tiap semester kami pulang. Beliau selalu terlihat tegar, membesarkan hati kami, “jangan cuma belajar, sholat, ngaji jangan sampai lupa sesibuk apapun.” Sampai sekarangpun pesan itu terus berulang beliau sampaikan. Dan selalu pipi ini basah oleh air mata tiap kali mendengarnya.

Hari ini, tepat dua tahun setelah peristiwa besar itu terjadi. Peristiwa besar yang mengajarkan kami banyak sekali pelajaran hidup. Membangunkan kami dari buaian dunia yang tidak ada habisnya : sekeras-kerasnya mengusahakan dunia, pada akhirnya tidak ada yang akan dibawa kecuali selembar kain putih yang melekat di badan. Dan sekali lagi, ketegaran beliau dua tahun ini menyadarkan ku, Allah telah menghadiahkanku seseorang yang amat sangat luar biasa.

Untuk seseorang yang sangat kucintai karena Allah. Yang selalu menemaniku mengeja ayat-ayat Allah.. Ibuku..

20140914_111949

22 Januari 2015,
Putramu, ditulis diatas pasifik dalam perjalan tokyo-kitakyushu..

About Taufiq Alif Kurniawan

I'm young, healthy, happy

Discussion

No comments yet.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: